Beranda | Artikel
Hujjahnya Khabar Ahad Dalam Masalah-masalah Aqidah
Selasa, 19 September 2023

Pembahasan Ketiga.
HUJJAHNYA KHABAR AHAD DALAM MASALAH-MASALAH ‘AQIDAH

Oleh
Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil

Pembahasan ini memiliki hubungan yang sangat erat dengan tema tanda-tanda hari Kiamat. Hal itu karena sesungguhnya tanda-tanda hari Kiamat ba-nyak diungkapkan dalam hadits ahad.[1] Sebagian ahli kalam[2] juga ahli ushul[3] berpendapat bahwa khabar ahad tidak bisa dijadikan landasan di dalam masalah ‘aqidah, masalah ‘aqidah hanyalah berlandaskan kepada riwayat yang qath’i; berupa ayat atau hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Pendapat ini tertolak, karena sesungguhnya jika suatu hadits telah tetap keshahihannya dengan riwayat orang-orang yang terpercaya dan sampai ke-pada kita dengan jalan yang shahih, maka sesungguhnya ia wajib diimani dan dibenarkan, baik berupa khabar mutawatir atau ahad. Dan sesungguhnya hadits tersebut memberikan ilmu yang yakin, inilah madzhab ulama Salaf kita yang shalih, dengan berpijak kepada perintah Allah Ta’ala kepada orang-orang yang beriman di dalam firman-Nya:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَّلَا مُؤْمِنَةٍ اِذَا قَضَى اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗٓ اَمْرًا اَنْ يَّكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ اَمْرِهِمْ

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi pe-rempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.…” [Al-Ahzaab/33: 36]

Dan firman-Nya:

اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ

“… Taatilah Allah dan Rasul-Nya…” [Ali ‘Imran/3: 32]

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Telah tersebar luas pengamalan para Sahabat dan para Tabi’in dengan khabar ahad, tanpa ada yang mengingkari. Maka hal ini menunjukkan adanya kesepakatan mereka untuk menerimanya.”[4]

Ibnu ‘Abdil ‘Izz rahimahullah berkata, “Khabar wahid, jika umat menerimanya secara pengamalan dan membenarkannya, maka ia memberikan ilmu yang yakin menurut pendapat jumhur. Ia adalah salah satu bagian dari khabar mutawatir. Dan tidak ada pertentangan antara ulama Salaf (ulama terdahulu) umat ini dalam masalah ini.”[5]

Seorang laki-laki pernah bertanya kepada Imam asy-Syafi’i tentang suatu masalah. Lalu beliau menjawab, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memutuskan masalah tersebut dengan ini dan itu.” Lalu orang tersebut berkata, “Bagaimana pen-dapatmu?” Lalu beliau berkata, “Subhaanallaah! Apakah engkau mengira bahwa aku sedang jual beli?! Bukankah engkau melihatku sedang mengenakan ikat pinggang? Aku katakan kepadamu, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan keputusan, sementara engkau mengatakan, ‘Bagaimana pendapatmu?’”[6]

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah juga berkata, “Bila aku meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebuah hadits yang shahih lalu aku tidak mengambilnya, maka saksikanlah oleh kalian bahwa akalku telah hilang (gila).”[7]

Beliau tidak membedakan antara khabar ahad dan khabar mutawatir. Tidak juga membedakan antara khabar tentang ‘aqidah dan khabar tentang masalah amalan. Namun, yang dijadikan landasan untuk semua itu hanyalah keshahihan hadits.

Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Seluruh (berita) yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sanad yang jayyid (benar/bagus), maka kami menetapkannya. Dan jika kami tidak menetapkan apa-apa yang dibawa oleh Rasul dan menolaknya, maka kami mengembalikan urusannya kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ

“… Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah…” [Al-Hasyr/59: 7][8]

Imam Ahmad tahimahullah tidak mensyaratkan kecuali keshahihan khabar.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah  berkata, “Jika suatu Sunnah telah tetap (sesuai dengan syaratnya), maka sesungguhnya seluruh kaum muslimin bersepakat atas kewajiban mengikutinya.”[9]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam bantahan terhadap orang yang meng-ingkari khabar ahad sebagai hujjah, “Termasuk hal ini, pengabaran para Sahabat dari yang satu kepada yang lainnya. Mereka menetapkan apa yang telah diriwayatkan salah seorang dari mereka dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak seorang pun dari mereka yang berkata kepada seseorang yang meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Khabar yang dibawa olehmu adalah khabar wahid (ahad) yang tidak bisa memberikan ilmu sehingga sampai kepada batasan mutawatir…

Dan ketika salah seorang di antara mereka meriwayatkan sebuah hadits kepada yang lainnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam masalah sifat-sifat Allah k, maka dia akan menerimanya dan meyakini sifat tersebut dengan yakin, seperti keyakinan tentang bisa melihat Allah (di akhirat), sifat kalam-Nya, seruan-Nya pada hari Kiamat kepada para hamba-Nya dengan suara yang bisa didengarkan orang yang jauh sebagaimana didengar orang yang dekat, turun-Nya ke langit dunia pada setiap malam, tertawa-Nya, gembira-Nya, Allah menahan langit-langit dengan salah satu jari dari jari-jari tangan-Nya, dan menetapkan (sifat) kaki bagi-Nya. Barangsiapa mendengarkan hadits ini dari seseorang yang meriwayatkannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau dari seorang Sa-habat, maka ia akan meyakini tetapnya kandungan-kandungannya dengan hanya mendengarkannya dari seseorang yang adil lagi jujur, dia tidak akan meragukannya sedikit pun.

Meskipun -mungkin- mereka mengklaripikasi (meminta bukti) sebagian hadits tentang hukum, namun tidak seorang pun dari kalangan mereka yang meminta bukti di dalam riwayat hadits-hadits tentang sifat (Allah). Bahkan merekalah yang paling cepat menerima, membenarkan, meyakini kandungan-kandungannya, dan menetapkan sifat-sifat Allah dengannya dari seseorang yang mengabarkan berita kepada mereka dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan orang yang paling rendah perhatiannya terhadap Sunnah mengetahui hal itu. Seandainya masalah ini belum jelas, niscaya saya (Ibnul Qayyim) akan menyebutkan lebih dari seratus bukti.

Inilah yang dijadikan landasan oleh orang yang menafikan (meniadakan) ilmu pada hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengannya mereka telah merusak kesepakatan para Sahabat yang wajib diketahui, kesepakatan para Tabi’in dan kesepakatan para imam dalam Islam. Landasan tersebut persis dengan apa yang diyakini kaum Mu’tazilah, Jahmiyyah, Rafidhah (Syi’ah), dan Khawarij, yang telah merusak kesepakatan ini dan diikuti oleh sebagian ulama kalam dan fiqih.

Jika tidak (seperti prinsip yang benar di atas), maka tidak diketahui se-orang imam Salaf pun yang berkeyakinan seperti itu, bahkan para imam terang-terangan menyelisihi prinsip mereka. Di antara para imam yang meng-ungkapkan bahwa khabar ahad memberikan faedah ilmu adalah: Malik, asy-Syafi’i, murid-murid Abu Hanifah, Dawud bin ‘Ali dan pengikutnya seperti Muhammad bin Hazm.”[10]

Adapun berbagai macam syubhat yang diungkapkan oleh orang yang mengingkari hujjahnya hadits ahad,[11] yaitu khabar ahad hanya mengandung makna zhann (prasangka), dan yang mereka maksud adalah zhann kuat yang membolehkan seseorang berbuat salah, atau lalai, atau lupa. sementara zhann kuat (kata mereka) wajib diamalkan dalam berbagai hukum berdasarkan ke-sepakatan, dan tidak dibenarkan mengambilnya dalam masalah keyakinan (‘aqidah).

Dan mereka berdalil dengan beberapa ayat yang melarang untuk meng-ikuti Zhann, seperti firman-Nya:

وَمَا لَهُمْ بِهٖ مِنْ عِلْمٍۗ اِنْ يَّتَّبِعُوْنَ اِلَّا الظَّنَّ وَاِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِيْ مِنَ الْحَقِّ شَيْـًٔاۚ

“… Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan, sedangkan sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran.” [An-Najm/53: 28]

Maka jawaban untuk syubhat seperti ini bahwa argumentasi mereka dengan ayat ini atau yang semisalnya tertolak karena prasangka yang ada di dalam ayat ini bukanlah prasangka kuat sebagaimana mereka fahami. Ia hanyalah keraguan, kebohongan, dan terkaan. Dijelaskan dalam kitab an-Nihaayah, al-Lisaan dan kitab-kitab bahasa lainnya, “Azh-Zhann adalah keraguan yang datang kepadamu dalam suatu hal, lalu engkau menetapkannya dan berhukum dengannya.”[12]

Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsiran ayat, وَمَا لَهُم بِهِ، مِنْ عِلْمٍ… “Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan pun tentang itu….” Maknanya adalah mereka tidak memiliki ilmu yang benar, sehingga membenarkan apa-apa yang mereka ucapkan. Bahkan yang mereka ucapkan hanya kebohongan, perkataan sia-sia, perkataan yang dibuat-buat, dan kekufuran.

إِنْ يَتَّبِعُـوْنَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لاَ يُغْنِـي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا  “… Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan, sedangkan sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran.” Maknanya adalah sesungguhnya prasangka tersebut sama sekali tidak bermanfaat, dan tidak pernah bisa men-duduki posisi kebenaran. Telah tetap dalam sebuah hadits shahih bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ.

Janganlah kalian berprasangka, sesungguhnya prasangka adalah pem-bicaraan paling dusta.’”[13] [14]

Keraguan dan kebohongan adalah zhann yang dicela oleh Allah Ta’ala, dan Allah tujukan celaan ini atas kaum musyrikin. Hal ini diperkuat dengan firman-Nya:

اِنْ يَّتَّبِعُوْنَ اِلَّا الظَّنَّ وَاِنْ هُمْ اِلَّا يَخْرُصُوْنَ

“… Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” [Al-An’aam/6: 116]

Allah mensifati apa yang mereka lakukan itu dengan persangkaan dan kedustaan yang hanya sebatas terkaan. Jika terkaan dan kedustaan itu merupakan zhann, maka mengambil berbagai hukum tidak bisa dilakukan dengan-nya,[15] karena sesungguhnya hukum tidak berdiri di atas landasan keraguan dan terkaan.

Adapun ungkapan yang dikatakan tentang kemungkinan adanya kelalaian dari seorang perawi dan kealfaannya, maka hal itu tidak dibenarkan/diterima karena adanya syarat yang ditetapkan bagi (pengambilan) khabar ahad, yaitu setiap perawi harus seorang yang tsiqah (dipercaya) dan dhabith (kuat hafalannya). Maka dengan predikat shahih pada sebuah hadits tidak ada pe-luang untuk menyangka adanya kesalahan seorang rawi, demikian pula berdasarkan kebiasaan yang berlaku sesungguhnya orang yang tsiqah dan dhabit tidak akan lalai dan berbohong. Kesimpulannya, tidak ada kesempatan untuk menolak khabarnya (khabar orang yang tsiqah) hanya karena adanya kemungkinan secara akal yang dinafikan oleh kebiasaan.

Dalil-Dalil yang Menetapkan Diterimanya Khabar Ahad
Jika terbukti kepalsuan landasan pendapat tidak diterimanya khabar ahad dalam ‘aqidah, maka sesungguhnya dalil-dalil yang menuntut untuk mengambilnya adalah banyak, yang datang dari al-Kitab dan as-Sunnah. Di antaranya:

  1. Firman Allah Ta’ala:

 وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ

Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang beriman pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka be-berapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” [At-Taubah/9: 122]

Ayat ini mendorong kaum mukminin agar belajar (memperdalam) ilmu agama. Sementara lafazh ath-thaa-ifah digunakan untuk satu orang atau lebih.

Imam al-Bukhari rahimahullah berkata, “Seorang laki-laki dinamakan ath-thaa-ifah berdasarkan firman-Nya:

وَاِنْ طَاۤىِٕفَتٰنِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اقْتَتَلُوْا فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَاۚ

Dan jika ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya…” [Al-Hujuraat/49: 9]

Seandainya ada dua laki-laki yang sedang bertengkar, maka keduanya masuk ke dalam makna ayat tersebut.”[16]

Lalu jika seseorang bisa diambil khabarnya (berita) di dalam masalah agama, maka hal itu merupakan dalil bahwasanya khabarnya adalah hujjah, dan memperdalam agama mencakup ‘aqidah juga hukum. Bahkan mempelajari (memperdalam) masalah ‘aqidah lebih penting daripada memperdalam berbagai hukum.[17]

2. Allah Ta’ala berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓاا

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.…” [Al-Hujuraat/49: 6]

Di dalam satu qira-at (فَتَثَبَّتُوا) yang diambil dari kata (اَلتَّثَبُّتُ).[18]

Ini merupakan dalil wajibnya menerima khabar ahad dari seorang yang tsiqah, dan hal itu tidak memerlukan penelitian karena ia tidak termasuk orang fasiq. Jika khabarnya itu tidak memberikan ilmu (keyakinan), niscaya Allah akan memerintahkan untuk meneliti secara mutlak (baik kepada yang tsiqah maupun yang fasiq) agar menghasilkan ilmu (keyakinan).[19]

3. Allah Ta’ala berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur-an) dan Rasul (Sunnahnya)...” [An-Nisaa’/4: 59]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kaum muslimin telah bersepakat bahwa mengembalikan (masalah agama) kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kembali kepadanya semasa hidupnya, dan kembali kepada Sunnahnya setelah beliau wafat. Mereka pun telah bersepakat bahwa kewajiban pengembalian ini tidak gugur dengan wafatnya beliau, maka seandainya khabar yang mutawatir saja yang dikategorikan sebagai sunnahnya, adapun yang ahad tidak mendatangkan ilmu juga keyakinan, niscaya tidak ada gunanya pengembalian masalah kepada beliau.[20]

Adapun dalil-dalil dari as-Sunnah sangatlah banyak, kami cukupkan sebagian saja, di antaranya:

  1. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim utusan-utusannya kepada para raja satu persatu (perorangan). Demikian pula para Sahabat yang diutus untuk menjadi gubernur di berbagai negeri. Lalu orang-orang datang kepada mereka dan menjadikannya sebagai rujukan dalam berbagai hukum amali dan perkara ‘aqidah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah Radhiyallahu anhu ke penduduk Najran,[21] mengutus Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu ke penduduk Yaman[22], mengutus Dihyah al-Kalbi Radhiyallahu anhu dengan membawa surat ke pemimpin Bushra…[23] dan para Sahabat lainnya Radhiyallahu anhum.
  2. Al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma, beliau ber-kata:

بَيْنَمَا النَّاسُ بِقُبَاءٍ فِي صَلاَةِ الصُّبْحِ، إِذْ جَاءَهُمْ آتٍ، فَقَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أُنْـزِلَ عَلَيْهِ اللَّيْلَةَ قُرْآنُ، وَقَدْ أُمِرَ أَنْ يَسْـتَقْبِلَ الْكَعْبَةَ، فَاسْتَقْبَلُوهَا! وَكَانَتْ وُجُوهُهُمْ إِلَى الشَّامِ فَاسْتَدَارُوا إِلَى الْكَعْبَةِ.

Ketika orang-orang sedang melakukan shalat Shubuh di Quba, tiba-tiba datang seseorang, lalu berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah turun kepadanya malam ini ayat (al-Qur-an), dan beliau diperintahkan untuk menghadap Ka’bah, maka menghadaplah kalian kepadanya.’ Dan saat itu wajah-wajah mereka menghadap ke Syam, lalu mereka berputar menghadap ke Ka’bah.”[24]

Maka tidak benar jika ada yang mengatakan, “Sesungguhnya yang ber-laku (di dalam hadits ini) adalah hukum amali,” karena pengamalan (para Sahabat) terhadap hukum ini berdasarkan keyakinan shahihnya khabar tersebut.

  1. Diriwayatkan dari ‘Umar Radhiyallahu anhu, beliau berkata:

وَكَانَ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ إِذَا غَابَ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَهِدْتُهُ أَتَيْتُهُ بِمَا يَكُونُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَإِذَا غِبْتُ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَهِدَ أَتَانِي بِمَا يَكُونُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Ada seseorang dari kalangan Anshar, jika ia tidak menghadiri (majelis) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara aku menghadirinya, maka aku datang kepadanya dengan membawa (kabar) yang aku dapatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan jika aku tidak menghadiri (majelis) beliau sementara dia hadir, maka dia datang kepadaku dengan membawa (kabar) dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[25]

Inilah keadaan para Sahabat Radhiyallahu anhum yang memperlihatkan kepada kita bahwa salah seorang dari mereka mencukupkan diri dengan khabar satu orang dalam urusan agamanya, baik masalah keyakinan atau pengamalan.

  1. Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيْثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ، فَرُبَّ مُبَلَّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ.

Semoga Allah membaguskan seseorang yang mendengarkan hadits dariku, lalu dia menghafalnya sehingga dia menyampaikannya, betapa banyak orang yang disampaikan kepadanya (sebuah hadits) lebih faham daripada orang yang mendengar langsung (dari sumbernya).’[26]

(Hadits ini) pun tidak membatasi hanya pada hadits-hadits yang sifatnya pengamalan saja tanpa yang lainnya. Bahkan hadits ini umum, mencakup hadits yang sifatnya pengamalan juga berkenaan dengan hukum-hukum i’tiqadiyyah (‘aqidah). Maka seandainya mengimani sesuatu yang telah tetap dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui jalur hadits ahad berupa keyakinan bukan merupakan hal yang wajib, niscaya tidak ada gunanya perintah Nabi untuk menyampaikan hadits secara mutlak (umum). Bahkan sebaliknya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan bahwa hal itu hanya terbatas pada hadits-hadits yang sifatnya pengamalan tidak yang lainnya.

Demikianlah, dan pendapat yang menyatakan bahwa hadits ahad tidak bisa diterima dalam masalah ‘aqidah adalah pendapat yang dibuat-buat (bid’ah), tidak ada landasannya dalam agama. Tidak ada seorang pun dari generasi per-tama umat ini (Salafush Shalih g) yang berpendapat seperti itu. Tidak ada satu riwayat pun yang dinukil dari mereka, bahkan (pendapat ini) tidak tergores di dalam benak mereka sekalipun. Seandainya didapatkan sebuah dalil qath’i yang menunjukkan bahwa hadits-hadits ahad tidak di-terima dalam masalah ‘aqidah, niscaya para Sahabat mengetahuinya dan akan terang-terangan mengatakannya, demikian pula orang-orang sepeninggal mereka dari para Salafush Shalih.

Perkataan yang bid’ah ini mengandung sebuah keyakinan yang meng-haruskan tertolaknya ratusan hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[27]

Maka orang-orang yang tidak mengambil khabar ahad dalam masalah ‘aqidah mengharuskan mereka menolak keyakinan yang sangat banyak yang bersumber dari hadits ahad, di antaranya:

  1. Keutamaan Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas para Nabi dan Rasul.
  2. Syafa’at Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang agung (Syafaa’atul ‘Uzhmaa) di padang Mahsyar.
  3. Syafa’at Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi orang-orang yang melakukan dosa besar dari ka-langan umatnya.
  4. Semua mukjizat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam selain al-Qur-an.
  5. Awal mula penciptaan, sifat Malaikat dan jin, sifat (keadaan) Surga dan Neraka yang tidak diungkapkan di dalam al-Qur-an.
  6. Pertanyaan Munkar dan Nakir di dalam kubur.
  7. Himpitan kubur bagi mayit.
  8. Shirath, al-Haudh, Mizan (timbangan) yang memiliki dua daun tim
  9. Keimanan bahwa Allah Azza wa jalla telah menetapkan kebahagiaan dan kesengsaraan bagi setiap manusia, rizkinya, dan ajalnya ketika dia masih berada di dalam perut ibunya.
  10. Keistimewaan-keistimewaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah dikumpulkan oleh Imam as-Suyuthi rahimahullah di dalam kitabnya al-Khashaa-ishul Kubraa’; misal-nya masuknya beliau ke dalam Surga di masa hidupnya, beliau melihat penghuninya dan segala hal yang dijanjikan bagi orang-orang bertakwa di dalamnya, dan masuk Islamnya qarin (penyerta) beliau dari kalangan jin.
  11. Meyakini dengan pasti bahwa sepuluh orang yang diberikan kabar gembira dengan Surga adalah di antara penduduk Surga.
  12. Tidak kekalnya orang yang melakukan dosa besar di dalam Neraka.
  13. Beriman terhadap setiap hadits shahih tentang sifat hari Akhir, hari ber-kumpul di padang Mahsyar yang tidak dijelaskan di dalam al-Qur-an al-Karim.
  14. Beriman kepada semua tanda-tanda Kiamat, seperti keluarnya al-Mahdi, turunnya ‘Isa q, keluarnya Dajjal, keluarnya api, terbitnya matahari dari barat, (keluarnya) binatang dan yang lainnya.

Selanjutnya, tidak semua dalil tentang keyakinan-keyakinan ini hanya berdasarkan hadits ahad saja, sebagaimana yang mereka katakan bahwa semua-nya berdasarkan hadits ahad. Bahkan ada di antaranya hadits-hadits mutawatir, akan tetapi karena sedikitnya ilmu dari mereka yang mengingkari hujjahnya khabar ahad, menjadikan mereka menolak semua keyakinan ini dan keyakinan-keyakinan lainnya yang bersumber dari hadits-hadits yang shahih.[28]

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa’ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1] Khabar berdasarkan sampainya kepada kita terbagi kepada mutawatir dan ahad.

  1. Mutawatir, yaitu khabar yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari sekelompok orang yang secara adat mustahil bersekongkol di atas kedustaan dari awal sanad sampai akhirnya.
  2. Ahad, yaitu khabar selain mutawatir.

Lihat at-Taqriib, karya an-Nawawi (II/176, Tadriibur Raawi), Qawaa’idut Tahdiits (hal. 146), karya al-Qasimi, Taisiir Mushthalahil Hadiits (hal. 18-21), karya Dr. Mahmud ath-Thahhan.
[2] Seperti Mu’tazilah dan para pengikutnya dari kalangan muta-akhkhirin. Seperti Syaikh Muhammad ‘Abduh, Mahmud Saltut, Ahmad Syibli, ‘Abdul Karim ‘Utsman dan yang lainnya.
Lihat al-Farqu bainal Firaq (hal. 180) tahqiq Muhyiddin ‘Abdul Hamid, Fat-hul Baari (XIII/233), Qaadhil Qudhaat ‘Abdul Jabbar al-Hamdani (hal. 88-90), karya Dr. ‘Abdul Karim ‘Utsman, Risalatut Tauhiid (hal. 202), karya Syaikh Muhammad ‘Abduh, tash-hih Muhammad Rasyid Ridha, dan lihat Mauqiful Mu’tazilah minas Sunnatin Nabawiyyah (hal. 92-93), karya Abu Lubabah Husain, al-Masiihiyyah Muqaaranatul Adyaan (hal. 44), karya Dr. Ahmad Syibli, dan lihat al-Fataawaa, karya Mahmud Syaltut, di halaman (62), dia berkata, “Dan para ulama telah sepakat bahwasanya hadits-hadits ahad tidak bermanfaat dalam masalah ‘aqidah, dan tidak dibenarkan menjadikannya sebagai landasan dalam hal-hal ghaib..!” Lihat kitab al-Islaam ‘Aqiidatan wa Syarii’atan (hal. 53), dan lihat kitabnya juga al-Masiih fil Qur-aan, at-Taurah, wal Injiil (hal. 539), karya ‘Abdul Karim al-Khatib.
[3] Lihat Syarhul Kaukabil Muniir fii Ushuulil Fiqh (II/350-352), karya al-‘Allamah Muhammad bin Ahmad ‘Abdul ‘Aziz al-Hanbali, tahqiq Dr. Muhammad az-Zamili dan Dr. Nazih Hammad.
[4] Fat-hul Baari (XIII/234).
[5] Syarh al-‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah, karya ‘Ali bin ‘Ali bin Abil ‘Izz al-Hanafi (hal. 399-400) yang ditahqiq oleh sekelompok ulama, dan haditsnya ditakhrij oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. al-Maktab al-Islami, cet. IV th. 1391 H – Beirut.
[6] Mukhtashar ash-Shawaa’iqil Mursalah ‘alal Jahamiyyah wal Mu’aththilah (II/350), karya Ibnul Qayyim, diringkas oleh Syaikh Muhammad bin al-Mushili, dibagikan oleh Lembaga Riset dan Fatwa Riyadh.
Lihat ar-Risaalah, karya Imam asy-Syafi’i (hal. 401), tahqiq Ahmad Syakir, cet. al-Mukhtar al-Islamiyyah, cet. II th. 1399 H. Lihat Syarah ath-Thahaawiyyah (hal. 399), karya Ibnu Abil ‘Izz.
[7] Mukhtashar ash-Shawaa’iq (II/350).
[8] Ittihaaful Jamaa’ah (I/4).
[9] Majmuu’ al-Fataawaa (XIX/85), karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, yang dikumpulkan oleh ‘Abdurrahman Qasim al-‘Ashimi an-Najdi, foto copi, cet. I th. 1398 H cet. ad-Darul ‘Arabiyyah, Beirut.
[10] Mukhtashar ash-Shawaa’iq (II/361-362).
[11] Lihat risalah Wujuubul Akhdzi bi Hadiitsil Aahaad fil ‘Aqiidah war Raddu ‘alaa Syubahil Mukhaalifiin (hal. 6-7), karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Darul ‘Ilmi Mesir.
[12] Lihat an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits wal Atsar (III/162-163).
[13] Shahiih Muslim, kitab al-Birr wash Shilah wal Aadaab bab Tahriimuzh Zhann wat Tajassus (XVI/118, Syarh an-Nawawi).
[14] Tafsiir Ibni Katsir (VII/434).
[15] Lihat al-‘Aqiidatu Fillaah (hal. 48-49), karya ‘Umar Sulaiman al-Asyqar, cet. Darun Nafa-is, Beirut. Disebarluaskan oleh Maktabah al-Falah, Kuwait, cet. II th. 1979 M.
[16] Shahiih al-Bukhari, kitab Akhbaarul Aahaad, bab Ma Jaa-a fii Ijaazati Khabaril Waahidish Shaduuq (XIII/231, al-Fat-h).
[17] Lihat al-‘Aqiidah Fillaah (hal. 51).
[18] Lihat Tafsiir asy-Syaukani (V/60).
[19] Wujuubul Akhdzi bi Hadiitsil Aahaad fil ‘Aqiidah (hal. 7), karya seorang ahli hadits Syam Muhammad Nashiruddin al-Albani.
[20] Mukhtashar ash-Shawaa’iqil Mursalah ‘alal Jahmiyyah wal Mu’aththilah (II/352), karya al-Imam Ibnul Qayyim.
[21] Lihat Shahiih al-Bukhari, kitab Akhbaarul Aahaad, bab Maa Jaa-a fii Ijaazati Khabaril Waahidish Shaduuq, (XIII/232, al-Fat-h).
[22] Lihat Shahiih al-Bukhari, kitab az-Zakaah, bab Wujuubuz Zakaah, (III/261, al-Fat-h).
[23] Lihat Shahiih al-Bukhari, kitab Akhbaarul Aahaad, ma Kaana Yab’atsun Nabiyyi Shallallahu ‘alaihi wa sallm minal ‘Umaraa’ war Rusul Waahidan ba’da Waahidin, (XIII/241, al-Fat-h), al-Bukhari meriwayatkannya secara mu’allaq.
[24] Shahiih al-Bukhari, kitab Akhbaarul Aahaad, bab Maa Jaa-a fii Ijaazati Khabaril Waahidish Shaduuq, (XIII/232, al-Fat-h).
[25] Shahiih al-Bukhari, kitab Akhbaarul Aahaad, bab Maa Jaa-a fii Ijaazati Khabaril Waahidish Shaduuq, (XIII/232, al-Fat-h).
[26] Musnad Ahmad (VI/96, no. 4157), tahqiq dan syarah Ahmad Syakir.
[27] Lihat risalah Wujuubul Akhdzi bi Hadiitsil Aahaad fil ‘Aqiidah (hal. 5-6), dan kitab al-‘Aqiidah fillaah (hal. 53), karya ‘Umar al-Asyqar.
[28] Lihat risalah Wujuubul Akhdzi bi Hadiitsil Aahaad fil ‘Aqiidah (hal. 36-39), dan kitab al-‘Aqiidah fillaah (hal. 54-55), karya ‘Umar al-Asyqar.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/88528-hujjahnya-khabar-ahad-dalam-masalah-masalah-aqidah.html